Slot Deposit Dana — Sorotan Presiden Prabowo Subianto terhadap kompetensi guru Indonesia mencuat kembali. Saat meninjau penggunaan papan digital interaktif di SMPN 4 Bekasi, Prabowo menyatakan banyak guru yang masih kurang dalam penguasaan bahasa asing, sains, dan teknologi.
“Kita tahu guru perlu ditatar, kita tahu ada berapa mata pelajaran di mana guru kita kurang kompetensinya,” ujar Prabowo, Senin (17/11/2025).
Sebagai solusi, pemerintah menargetkan penyaluran 288.865 panel interaktif ke sekolah-sekolah dan konsolidasi sekolah yang kekurangan murid. Hingga 16 November, 172.550 unit telah disalurkan. Namun, bagi banyak pemerhati pendidikan, langkah ini belum menyentuh akar persoalan sesungguhnya.
Data Usang dan Lemahnya Regulasi
Iman Zanatul Haeri dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) membenarkan bahwa kompetensi guru memang perlu ditingkatkan. Namun, data utama yang dijadikan rujukan, yaitu Uji Kompetensi Guru (UKG) terakhir, sudah berasal dari tahun 2015 dengan nilai rata-rata nasional di bawah 50.
“Data tersebut sudah terlalu lama. Kita perlu pemutakhiran untuk mendapatkan gambaran faktual kondisi guru hari ini,” ujar Iman.
Ia juga menyoroti kebijakan pemerintah sendiri yang kerap kontra-produktif, seperti dalam seleksi Guru PPPK 2023 dimana banyak guru ditempatkan pada formasi yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya.
“Dari sisi regulasi saja pemerintah ini bermasalah. Bagaimana guru bisa menguasai materi jika diajar untuk mengajar di bidang yang bukan keahliannya?” tambahnya.
Masalah Hulu: Lembaga Pencetak Guru
Fahriza Marta Tanjung dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melihat akar masalah berada di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Banyak LPTK yang bermunculan pasca-janji sertifikasi guru, namun kualitas pendidikannya tidak merata.
“Lembaga abal-abal menawarkan gelar sarjana instan. Sementara LPTK kredibel kehilangan fokus sejak banyak IKIP dikonversi menjadi universitas,” jelas Fahriza.
Persoalan mendasar juga terlihat dari ketidakmampuan banyak guru dalam menyusun rencana pembelajaran—kompetensi paling dasar seorang pendidik.
Komitmen yang Lemah dan Beban Administrasi
Koordinator JPPI, Ubaid Matraji, menilai pernyataan presiden tidak disertai langkah strategis yang menjawab akar persoalan. Ia mencontohkan, alih-alih meningkatkan anggaran untuk pelatihan guru, pemerintah justru mengalihkan dana pendidikan untuk program lain.
“Data rendahnya kompetensi guru sudah ada sejak lama. Pertanyaannya, kenapa tidak dianggap sebagai perkara yang mendesak?” kata Ubaid.
Ia juga menyoroti beban administratif yang menumpuk di sekolah, yang menyita waktu guru untuk refleksi dan pengembangan diri. “Tagihan laporan dan unggahan dokumen membuat guru kekurangan waktu untuk fokus pada peningkatan kualitas mengajar,” ujarnya.
Solusi yang Diperlukan: Dari Hulu ke Hilir
Para pemerhati pendidikan sepakat bahwa solusinya harus komprehensif:
- Pembenahan LPTK: Memperketat dan menstandarisasi kualitas lembaga pencetak guru.
- Pelatihan Berjenjang: Menyediakan pelatihan berkelanjutan yang dibiayai penuh negara, dengan kuota jam yang jelas seperti negara ASEAN lain (Malaysia 40 jam/tahun, Singapura 100 jam/tahun).
- Peningkatan Kesejahteraan: Gaji guru non-PNS yang masih ratusan ribu rupiah per bulan membuat profesi ini tidak menarik bagi lulusan berkualitas.
- Pemutakhiran Data: Melakukan pemetaan ulang kompetensi guru secara nasional untuk mendapatkan data yang akurat.
Kritik terhadap kompetensi guru memang sah adanya. Namun, tanpa pembenahan menyeluruh dari hulu ke hilir—dimulai dari pencetakan calon guru, penempatan yang tepat, pelatihan berkelanjutan, hingga perbaikan kesejahteraan—masalah klasik ini akan terus berulang, sekalipun teknologi tercanggih telah memenuhi setiap ruang kelas.
